Nusakini.com--‘’Jal, boleh gak di kamar yang dikunci rapat dan gelap gulita, perempuan salat bugil tanpa mukena? Untuk apa mukena, kan gak ada orang yang lihat? Kalau dikaitkan dengan Allah, mau di tempat gelap atau terang, mau perempuan pakai mukena atau tidak, Allah sudah pasti Maha Melihat, bahkan isi perut dan hati si perempuan itu pun Allah Maha Tahu!’’ 

Pertanyaan itu disampaikan Saleh Abdullah, senior saya di Gontor dan di IAIN Jakarta, saat ia mampir ke kantor saya di kawasan Mampang Prapatan pada tanggal dan di hari yang saya lupa tahun 1999. Pertanyaan Saleh 24 tahun lalu itu saya angkat kembali dalam tulisan ini karena sebagai alumnus IAIN Jakarta, ia baru saja terpilih menjadi satu dari tujuh alumni IAIN Jakarta yang dianugerahi award oleh Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Negeri Jakarta (IKALUIN), 23 Desember 2022 lalu. Kiprah mereka di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya dinilai bermanfaat buat bangsa dan negara. 

Saya suka gaya Saleh bertanya. Jangan buru-buru menganggap dia sedang bermain-main dengan syariat agama saat mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan model ini mewakili retorika khas mahasiswa IAIN Jakarta di tahun 1980-an, yang saat itu menggemari lalu, to some extent, menjalani liberalisme Islam. 

Liberalisme Islam sangat berbeda dengan Islam liberal. Dalam liberalisme Islam ada makna pembebasan seperti yang berkembang di Barat di abad pertengahan, ketika kaum rasionalis dan ilmuwan membebaskan pikiran masyarakat Eropa saat itu dari kegelapan Gereja. Saat itu Gereja, misalnya, ngotot bahwa bumi adalah datar, ilmuwan yang menentangnya dihukum. Gereja juga mendukung pembantaian ribuan penyihir perempuan tanpa proses pengadilan. Liberalisme Islam juga ditujukan untuk membebaskan penganutnya dari ketidaktahuan. Sedangkan Islam liberal bermakna Islam bebas – dari arti etimologis ini kemudian istilah itu disalahartikan bahwa penganut Islam liberal dianggap cenderung nyeleneh dalam berpikir tentang Islam. 

Saya sendiri, juga saya yakin Saleh Abdullah, termasuk yang tidak percaya ada orang yang layak disebut penganut Islam liberal di Indonesia. Orang-orang yang selama ini dituduh berpaham Islam liberal, menurut saya, belum sepenuhnya bisa disebut liberal. Mereka malah cenderung konservatif seperti para penuduh mereka. 

Mari kita buktikan. Adakah di antara mereka yang dituduh Islam liberal berani sengaja melanggar larangan Nabi Muhammad SAW seperti yang dilakukan Umar bin Khattab? Saat masih hidup, Nabi SAW melarang keras semua sahabat menuliskan Al-Quran. Nabi khawatir wahyu Allah SWT bercampur dengan ucapannya yang bukan ayat-ayat Al-Quran. Tapi, begitu Nabi wafat dan di masa khalifah Abu Bakar banyak penghafal Al-Quran gugur dalam peperangan, Umar meminta Abu Bakar menuliskan Al-Quran dalam mushaf. Abu Bakar menolak sebab melaksanakan permintaan Umar itu berarti melawan larangan Nabi. Tapi, karena Umar ngotot, Al-Quran akhirnya ditulis juga. Nah, ada yang lebih liberal dibanding Umar?

Liberalkah orang yang membolehkan pernikahan beda agama? Tidak. Para sahabat di masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab banyak yang menikah dengan non-Muslimah, sampai-sampai Umar gusar mengapa banyak sahabatnya sendiri lebih tertarik pada ahlul kitab dibanding pada perempuan Arab Muslimah. Saat hijrah ke Habasah, Ubaidillah bin Jahsyi masuk Kristen. Sedangkan istrinya, Ummu Habibah, tetap sebagai Muslimah. Nabi tidak pernah memerintahkan mereka bercerai sampai Ubaidillah wafat. Beberapa waktu kemudian Nabi menikahi Ummu Habibah. 

Almarhum Prof Harun Nasution, saat menyeleksi dosen yang akan mengikuti program pembibitan ke luar negeri, selalu bertanya jika di luar negeri mereka jatuh cinta pada bule, apakah dilanjutkan ke jenjang pernikahan? Jika dijawab ‘’ya’’, bekas rektor IAIN Jakarta itu akan gembira. Tapi, jika dijawab ‘’tidak jika dia non-Muslim’’ atau ‘’harus masuk Islam dulu’’, Prof Harun kontan berkata: ‘’Wah, kamu belum siap belajar keluar negeri. Baca buku dulu yang banyak. Bedakan antara musyrik dengan ahlul kitab.’’ 

Liberalkah orang yang berpendapat bahwa ‘’wine’’ atau ‘’minuman’’ lain dengan berbagai mereknya boleh dikonsumsi umat Islam? Pendapat seperti itu biasa saja. Jauh sebelum mereka, Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani telah berpendapat bahwa semua yang bukan khamar halal. Ulama yang lahir di Kufah pada 200 H/815 M dan wafat di Baghdad pada 270 H/883 M ini hanya menjadikan teks-teks Al-Quran sebagai dalil – makanya dia disebut Daud Az-Zahiri (Daud Sang Denotatif). Karena Al-Quran hanya mengharamkan khamar, maka semua yang bukan khamar oleh Daud Az-Zahiri dihalalkan. Adakah yang lebih liberal dibanding Daud Az-Zahiri? 

Liberalkah orang yang membolehkan Muslim mengucapkan selamat natal kepada saudara-saudaranya non-Muslim? Buat orang semacam Saleh Abdullah jelas tidak. Masa mengucapkan selamat natal saja dianggap liberal? Saleh bukan hanya membolehkan ucapan natal, tapi bahkan saat menyampaikan orasi kebudayaan di malam penganugerahan IKALUIN Award itu, di atas panggung dia berdoa untuk Tanto, kawannya seorang petani beragama Katolik, agar dia masuk surga. Saleh tidak takut dicap menyerupai Katolik hanya gara-gara dia berdoa untuk kawannya yang beragama Katolik. 

Liberalkah jika ada seorang akademisi berpendapat jilbab tidak wajib? Ya tidak juga. Dulu mahasiswi IAIN Jakarta, bahkan sebagian dosen perempuan di kampus itu, di tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an masuk kampus hanya berkerudung seperti tokoh Muslimat NU Yenny Wahid, tidak berjilbab seperti yang sekarang kita lihat. Kerudung mereka kadang melorot lalu menjuntai di pundak. Para mahasiswi IAIN Jakarta baru sepenuhnya mengenakan jilbab seperti yang kita lihat sekarang setelah revolusi Islam Iran meledak di tahun 1979, lalu dampak politiknya menyebar sampai ke setiap gang-gang sempit di pelosok Indonesia. 

Bagaimana dengan pluralisme? Jika dengan pluralisme ada orang berpendapat semua agama sama tanpa dalil dan argumentasi ilmiah yang jelas, dia konyol, bukan liberal. Jika seseorang berpendapat semua agama sama sebagai ‘’ad-din’’, itu benar, ada dalilnya. Al-Quran misalnya menegaskan para nabi mulai dari Adam AS sampai Muhammad SAW menganut agama yang sama, yakni Islam, yang berarti berserah diri. Jika seseorang berpendapat semua agama berbeda sebagai ‘’millat’’, itu juga benar dan ada dalilnya. Sebagai ‘’millat’’ (bukan sebagai ad-diin), Yahudi jelas berbeda dengan Nashrani, Nashrani berbeda dengan Majusi, demikian seterusnya. 

Karena semua tema yang kini aktual diperdebatkan di Indonesia ada dalilnya – mulai dari hukum jilbab, Muslim mengucapkan natal, pernikahan beda agama, sampai paham pluralisme yang kontroversial itu – maka sebenarnya tidak ada istilah Islam liberal. Yang ada hanyalah perbedaan mazhab fikih. Kalau perbedaan paham fikih, jangankan sekarang, dulu pun sejak zaman sahabat Nabi SAW perbedaan fikih itu sudah ada. Apa hubungannya dengan liberal? 

Karena itu, sekali lagi, saat bertanya apa hukum perempuan salat sambil bugil di kamar yang gelap gulita, Saleh Abdullah sebenarnya ingin membebaskan orang-orang dari pikiran bahwa salat hanyalah ritual wajib yang jika seorang Muslim tak melakukannya ia masuk neraka. Menurut orang-orang seperti Saleh Abdullah, orang yang salat tapi menghardik anak yatim adalah pembohong atas nama agama yang harus diberangus. Di buku suci bernama Al-Quran, dalam surat Al-Ma’un, Allah mencaci maki orang salat tapi enggan memberi bantuan pada orang lain. 

Dari mana saya tahu bahwa dari pertanyaan salat sambil bugil tadi, Saleh sesungguhnya sedang melakukan liberalisme alias pembebasan? Saat itu Saleh langsung mengaku tak butuh jawaban saya. Di akhir pertanyaan dia menegaskan: ‘’Hage gak butuh jawaban sekarang. Hagak jawab kapan-kapan aja kalau kita ketemu lagi. Itu pertanyaan simpen aja di kantong!’’ – ‘’hage’’ adalah kata ganti ‘’saya’’ dan ‘’hagak’’ kata ganti ‘’kamu’’ yang biasa digunakan santri Gontor di tahun 1980-an ke bawah. Saya tak tahu apakah kedua vocabularies itu masih digunakan para santri Gontor generasi sekarang. 

Dengan paradigma berislam seperti itu – melaksanakan pesan-pesan pembebasan dalam Islam – Saleh Abdullah dan kawan-kawannya segenerasinya relatif terbebas dari perdebatan ‘’selamat Natal’’, wajib-tidaknya jilbab, atau soal ‘’pluralisme’’ seperti yang kini marak diperdebatkan. Mereka sudah melewati batas-batas itu, lalu meloncat ke fase berikutnya membebaskan masyarakat sesuai pesan-pesan Al-Quran: mengentaskan kemiskinan, melakukan demokratisasi, menegakkan egalitarianisme, menyeimbangkan proporsi kaya-miskin, atau menegakkan keadilan sosial. 

Untuk itulah, di awal tahun 1990-an, Saleh Abdullah dan Prof. Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang saat itu sangat diharamkan oleh rezim Soeharto. Jauh sebelum Presiden Joko Widodo memindahkan ibukota ke Kalimantan, PUDI sudah menyebarkan kartu lebaran ke semua anggota DPR/MPR RI yang di cover depannya ditulis: ‘’Pindahkan Ibukota ke Kalimantan sekarang juga!’’ – gara-gara ini Saleh Abdullah ditangkap. Saat menjenguknya di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, saya melihat Saleh duduk di lantai sambil, seperti biasa, nyengir. 

Sejak tamat dari IAIN Jakarta, Saleh memilih jalan jadi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) – dia lebih senang menyebutnya Or-Nop alias organisasi non pemerintah. Dia sungguh tak mau jadi bagian dari pemerintah. Bahkan saat namanya populer, Saleh menolak semua partai yang melamarnya jadi politisi. Di Or-Nop itulah dia menemukan jalan mengimplementasi ajaran agama yang sesungguhnya, terutama ketika ditugaskan di daerah pedalaman yang masyarakatnya jauh dari jangkauan peradaban. 

Saleh tak sendiri. Kakak kelasnya, Fachry Ali, juga teman-teman seangkatannya semisal Tafta Zani dan Mudarris, menempuh jalan yang sama jadi aktivis LP3ES dan LSM lain. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu di sini, biarlah nanti mereka sendiri menceritakan pertemuan mereka dengan Tuhan saat mereka jadi aktivis LSM – jika Allah marah terhadap orang yang salat tapi membiarkan orang kelaparan, maka sesungguhnya mudah mencari Tuhan; Ia selalu ada di antara dan bersama orang-orang miskin yang terpinggirkan.  

Saleh Abdullah dan semua penerima IKALUIN Award layak mendapat penghargaan atas ketekunan mereka menemukan Tuhan lewat aktivitas mereka yang beragam. Saat saya kuliah di Hull, Inggris, sebuah SMS masuk ke HP saya (saat itu belum ada Whatsapp). 

‘’Jal, apa kabar? Hagak lagi di Inggris? Hage di Finlandia nih!’’ – SMS itu dari Saleh Abdullah. 

‘’Hagak lagi di Finladia, ayo mampir ke Inggris’’ jawab saya singkat. 

‘’Ada Tuhan gak di Inggris?’’ jawab Saleh Abdullah singkat. Dari jawaban itu saya tahu, Saleh bukan sedang bercanda tentang Tuhan, tapi sedang sedang menunjukkan keberpihakannya pada kaum marjinal tertindas yang di antara mereka Allah selalu berpihak. Itulah humanisme agama yang dipilih Saleh Abdullah (dan orang-orang sealiran dengannya) dalam beragama, sebagaimana Anda juga punya cara sendiri dalam menjalankan agama-agama.  

Selamat malam Tuhan, teruslah tersenyum atas cara dan pilihan kami dalam menjalan agama-agama yang Engkau turunkan ...

Penulis : Helmi Hidayat (Dosen UIN Jakarta)